Salah Asuhan adalah sebuah mahakarya sastra Indonesia modern yang memulai babak penting dalam sejarah literasi bangsa. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1928 oleh Balai Pustaka, novel karya Abdoel Moeis ini bukan sekadar kisah cinta segitiga biasa; ini adalah studi sosial-psikologis yang mendalam tentang benturan budaya, krisis identitas, dan konsekuensi tragis dari "salah asuhan" dalam konteks kolonial Hindia Belanda.
Sinopsis: Hanafi dan Dera Konflik Identitas
Premisnya berfokus pada Hanafi, seorang pemuda Minangkabau yang sejak kecil disekolahkan di sekolah Belanda (HBS). Pendidikan ala Barat ini menanamkan dalam dirinya kebencian mendalam terhadap adat istiadat bangsanya sendiri dan membangkitkan obsesi untuk menjadi "orang Barat" seutuhnya.
Hanafi menjalin cinta dengan Corrie Du Bussee, seorang gadis Indo (keturunan Perancis/Belanda). Cita-cita Hanafi untuk menikahi Corrie dan melepaskan identitas pribuminya terbentur oleh realitas sosial dan larangan adat. Ia akhirnya terpaksa menikahi Rapiah, gadis sekampungnya, atas permintaan ibunya.
Pernikahan dengan Rapiah, yang tidak didasari cinta, hanya menjadi panggung bagi kekasaran dan arogansi Hanafi. Ketika ia akhirnya berhasil menikah dengan Corrie—bahkan dengan mengubah status kewarganegaraannya menjadi Eropa—kehidupan rumah tangganya juga berakhir tragis dan penuh perselisihan. Pada akhirnya, Hanafi harus menghadapi konsekuensi fatal dari pilihannya yang melampaui batas dan kesadaran pahit bahwa ia tidak diterima sepenuhnya baik oleh dunia Timur maupun Barat.
Ketegangan dalam Benturan Dua Dunia
Kekuatan utama novel ini terletak pada konsep konflik batin dan eksternal yang sangat intens. Abdoel Moeis dengan jenius menciptakan suasana yang mencekam akibat ketidakmampuan Hanafi berdamai dengan identitasnya.
- Dunia Adat (Timur): Diwakili oleh Ibu Hanafi dan Rapiah, yang sabar, pasrah, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Minang. Dunia ini dianggap Hanafi sebagai keterbelakangan.
- Dunia Modern (Barat): Diwakili oleh Corrie dan teman-teman Belandanya, yang diidealkan Hanafi sebagai kemajuan dan kebebasan. Ironisnya, bahkan setelah menjadi 'Barat', Hanafi tetap merasa terasing.
Novel ini menempatkan Hanafi dalam ruang isolasi psikologis. Ia kasar terhadap ibu dan istrinya (Rapiah), egois terhadap Corrie, dan arogan terhadap bangsanya sendiri. Pembaca disajikan tontonan tragis tentang bagaimana seseorang yang terobsesi pada pandangan luar akhirnya kehilangan martabat dan kebahagiaan internal.
Gaya Bahasa dan Kritik Sosial
Sebagai novel yang terbit di era Balai Pustaka, gaya bahasa dalam Salah Asuhan masih menggunakan ragam Bahasa Melayu tinggi yang formal dan puitis, meskipun dialognya cenderung panjang dan eksplisit dalam menyampaikan amanat.
Inti dari karya ini adalah kritik sosial yang sangat tajam. Melalui karakter Hanafi, Abdoel Moeis mengkritik:
- Imitasi Buta: Sikap pribumi yang secara membabi buta meniru budaya Barat tanpa filter, menyebabkan durhaka pada akar sendiri.
- Perkawinan Campur: Kesulitan dan tragedi yang dihadapi dalam pernikahan antarbangsa pada masa itu, didorong oleh prasangka sosial dan hukum kolonial yang diskriminatif.
- Kesombongan Kaum Borjuis: Mengkritik kaum elit pribumi yang "lupa daratan" setelah mengenyam pendidikan ala Belanda.
Dilema Moral yang Abadi
Apa yang membuat novel ini abadi adalah dilema moralnya. Novel ini memaksa pembaca untuk bertanya: Seberapa penting akar budaya dalam membentuk karakter? Dan, apakah upaya untuk melepaskan diri dari identitas dapat dibenarkan demi mengejar kemajuan yang diidealkan?
Resolusi tragis kisah ini, yang diakhiri dengan penyesalan mendalam dan kematian Hanafi, adalah kesimpulan moral yang jelas dari penulis: bahwa kehidupan yang didasarkan pada penolakan diri dan pengkhianatan terhadap asal usul akan berujung pada kehancuran.
Kesimpulan
Salah Asuhan adalah sebuah keharusan baca bagi setiap pecinta sastra Indonesia. Plotnya—walaupun mengalami revisi (seperti penggambaran Corrie) agar lolos sensor Balai Pustaka—tetap solid dan memikat. Karakter Hanafi adalah salah satu karakter anti-hero paling ikonik yang mewakili kegelisahan identitas di masa transisi.
Novel ini adalah bukti nyata mengapa karya-karya klasik tetap relevan: karena ia mengangkat pergulatan abadi antara hukum, adat, identitas, dan moralitas.
Rating: 4.5/5 Bintang Sebuah masterpiece sastra yang wajib dibaca untuk memahami akar budaya dan kritik sosial Indonesia modern.
